--> Skip to main content
Pelajar Koding

follow us

Pertentangan Etnis Dalam Abad Transisi Demokrasi Di Irak (Paska Tumbangnya Presiden Saddam Hussein 2003-2011)

Penulis: Siti Wulandari, dkk. Mahasiswa FISIP-Hubungan Internasional Univ. Prof. Dr. Moestopo (Beragama) (15 Mei 2012) BAB I PENDAHULUAN 1.       Latar Belakang Masalah Pada 29 Januari 2002, President George W. Bush menyatakan bahwa Irak yakni anggota dari poros setan “Axis of Evil” seperti Korea Utara dan Irak, sehingga kepemilikan dari senjata pemusnah massal di tangan mereka akan memberikan ancaman yang serius kepada keamanan nasional Amerika Serikat. Pengetahuan kepemilikan senjata pemusnah massal Irak ini didapatkan oleh Presiden Amerika Serikat dari badan CIA (Central Intelligency  Agency), dan Pemerintahan Inggris. [1] Pada tahun yang sama, Amerika Serikat lewat PBB menunjukkan tuduhan terhadap Irak, bahwa Saddam Husein sudah menyebarkan persenjataan nuklir dan persenjataan pemusnah massal lainnya. Sehingga, PBB menugaskan tubuh penyidik UNMOVIC (United Nation Monitoring Verification and Inspection Commission) ke Irak untuk menerangkan acara pengembangan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya. Atas dasar penyidikan yang dilakukan UNMOVIC inilah, PBB mengeluarkan DK PBB No. 1441 yang berisikan penuntutan Irak untuk mengizinkan dan memperlihatkan saluran sepenuhnya kepada UNMOVIC dan IAEA (International Atomic Energy Association) pada tanggal 8 November 2002. [2] Resolusi DK PBB inilah yang menjadi pijakan bagi Amerika Serikat untuk melakuka invasi kepada Irak yang dimulai semenjak 21 Maret 2003. Dalih atas invasi yang dikerjakan oleh Amerika Serikat ini adalah Amerika berusaha untuk menangkal dan menghentikan program kepemilikan dan pengembangan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal, menggulingkan Saddam Husein alasannya adalah dianggap selaku ancama bagi perdamaian dunia dan yang sudah berkolaborasi dengan kaum teroris Internasional yang dipimpin oleh Osama Bin Laden, serta menjinjing arus dan paham demokrasi di Irak yang selama ini menerapkan sistem totaliter. Kampanye Amerika Serikat yang beralasan bahwa invasi yang dilaksanakan olehnya ialah bertujuan untuk merubah sistem pemerintahan Irak di bawah Saddam Husein yang bersifat dikatator menjadi demokratis merupakan perhatian dan konsentrasi penulis dalam penulisan makalah ini. Terutama dikaitkan dengan, anomali yang terjadi bahwa paska tumbangnya Saddam Husein dan terjadinya masa transisi di Irak justru memajukan eskalasi konflik etnis di Irak. Masyarakat Irak mengalami kala transisi menuju tata cara demokrasi ketika Presiden Saddam Husein tumbang dan jatuhnya legitimasi Partai Baath di Irak pada bulan Mei 2003. Awalnya, Amerika Serikat menghimpun kekuatan untuk melakukan invasi ke Irak alasannya Amerika Serikat beralasan bahwa Irak sudah gagal menghentikan program nuklirnya dan gagal menghentikan acara pengembangan senjata kimia yang melanggar Resolusi PBB 687. Selain alasan itu, alasan Amerika Serikat dalam langkah-langkah invasinya ke Irak ialah untuk mengubah tata cara diktator opresif yang dipraktekkan oleh Saddam Husein menjadi demokrasi. Namun, realitanya pada kala transisi pemerintan Irak yang menuju demokrasi menyebabkan pemberontak-pemberontak Irak dan kekerasan-kekerasan antar golongan di Irak. Kondisi pada kala transisi demokrasi ini lah yang menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini utamanya terkait dengan konflik etnis yang terjadi di Irak. 2.       Pertanyaan Penelitian Paska tumbangnya Saddam Husein selaku Presiden Irak, dan sistem pemerintahan berubah dari totaliter menjadi demokrasi, semakin banyak pertentangan etnis yang terjadi di Irak. Sebelumnya, saat Saddam Husein menjabat sebagai Presiden konflik yang terjadi yakni bersifat vertikal, di mana kelompok-kelompok etnis masyarakat melawan pemerintahan Irak. Misalnya saja pertentangan antara kelompok Syiah melawan pemerintah Sunni dan suku Kurdi melawan pemerintahan Irak di Utara. Namun, paska tumbangnya Saddam Husein, dan Irak mengalami masa transisi dari totaliter menuju demokrasi pertentangan-konflik etnis di Irak makin sering terjadi dan lebih bersifat horizontal. Seperti pertentangan antara kelompok Syunni melawan Syiah, kalangan Syiah Radikal yang dipimpin oleh Muqtada Al Sadr melawan golongan Syiah yang dikendalikan oleh Amerika Serikat, dan konflik antara orang-orang Turki, Turkmenistan dan Arab di Kirkuk (salah satu kota di Irak bagian timur). Hal ini tentu menjadi anomali dalam fenomena hubungan internasional, di mana paham demokrasi semestinya mampu membuat keadaan hening dalam kehidupan penduduk namun kenyataannya hal tersebut tidak terjadi di Irak. Intensitas konflik etnis di Irak bahkan meningkat sejak 2003. Oleh karena itu, penulis mencoba membongkar dan mengecek pertanyaan “Mengapa intensitas konflik etnis meningkat pada kurun transisi demokrasi paska tumbangnya Saddam Husein di Irak?” BAB II KERANGKA TEORI 1.       Definisi Konseptual Konflik Etnis Beberapa definisi konseptual dari konflik etnis yakni selaku berikut: Instrumentalist (rationalist) explain ethnic conflict on emphasizing the fact that participants in conflict hope to derive some material benefit from the conflict, such as jobs, wealth or power. Bates, foremost point is that ethnic conflict is conflict among rational agents over scarce resources. (Bates, 1973, 1982) Ethnic conflict by analysis from Horowitz is the role of self esteem that individuals derive from seeing members of their ethnic group succed in business and, especially in politics. This allows group leaders to mobilize coethnic support whether in the form of votes for ethnic parties or participation in violent confrontations. (Francesco Caselli, 2001: 8) Michael E. Brown used the term of ethnic conflict to describe a wide range of internal conflicts. Then, he defined ethnic conflict as conflict between ethnic groups within a multi-ethnic state, which have been going on some time, which may appeat to be unsolved to the parties caught up in them. According to him, an ethnic conflict is a dispute about important political, economic, cultural, or territorial issues between two or more ethnic communities… Ethnic group want to defend and promote their collective identity and interest. (Michael E. Brown, :4-5) Dari beberapa definisi tersebut penulis akan menggunakan definisi pertentangan etnis yang dikemukakan oleh Michael E. Brown, di mana beliau menggambarkan pertentangan etnis selaku internal konflik yang bersifat luas. Konflik ini terjadi antara golongan etnis di dalam suatu negara yang rakyatnya terdiri dari aneka macam etnis. Konflik etnis ini ialah persengketaan atas politik, ekonomi, budaya ataupun informasi kawasan antara dua atau lebih komunitas etnis yang saling bersengketa. Masing-masing kelompok etnis ini berusaha untuk mempertahankan dan mengenalkan identitas dan kepentingan kolektifnya. Masa Transisi Demokrasi Masa transisi demokrasi merupakan abad peralihan dari metode pemerintahan yang non demokrasi (tirani, otoriter, despotism, komunis, sosialis) menuju metode pemerintahan yang demokrasi. Masa transisi demokrasi ini merupakan suatu proses politik yang melibatkan banyak sekali kelompok yang berusaha mengganti metode pemerintahan yang ada untuk mengusung demokrasi. 2.       Operasionalisasi Konsep dan Teori New Wars New Wars digambarkan sebagai perang internasional atau perang sipil dengan intensitas pertentangan yang rendah dengan turut pula melibatkan jaringan transnasional sebab dampak globalisasi. Mary Kaldor pun menerangkan bagaimana globalisasi memperlihatkan dampak dan pergeseran kepada rancangan perang. Dalam new war, perang lebih menekankan pada klaim identitas ketimbang perebutan wilayah, strategi perang gerilya atau serangan dengan memakai terror ialah cara-cara yang dipakai dalam new wars. Sumber pendanaan dalam new wars ini pun turut berubah dan tergoda alasannya adanya kejahatan internasional. [3] Mary Kaldor pun mengemukakan bahwa, new wars ini tidak menekankan pada penggunaan teknologi dalam peperangannya melainkan menekankan pada korelasi sosial yang terjadi di antara masyarakat sipil saat peperangan terjadi. New wars ini ialah suatu jenis peperangan gres yang terkait dengan pengaruh globalisasi dan disintegrasi suatu negara. Pertempuran yang terjadi dalam new wars ini jarang terjadi, tetapi ketika peperangan ini dilaksanakan, langkah-langkah-langkah-langkah kekerasan yang dijalankan kadang kala ditujukan kepada penduduk sipil. Komunitas yang melaksanakan penyerangan atau pertempuran ini berusaha membentuk kembali rasa komunitas politik dengan lewat panik dan kebencian. New wars ini dijalankan untuk mengkonstruksi kembali legitimasi politik dari suatu kelompok. (Mary Kaldor, 2005) New wars merupakan sebuah perpaduan pemain film-pemain film negara dan non-negara yang umumnya dijalankan bukan untuk alasan negara ataupun untuk argumentasi ideologi, namun untuk alasan identitas. Adapun latar belakang dari hadirnya new wars ini ialah adanya krisis terhadap institusi internasional yang mengakar dan terjadinya arus globalisasi. Tujuan yang mau diraih dari new wars ini ialah untuk mendapatkan identitas politik dan identitas dirinya agar menerima pengukuhan dan sumbangan. Adapun tata cara yang diterapkan dalam new wars yaitu bersifat lokan tetapi terintegrasi dengan dunia internasional, non-hierarki dan merupakan sebuah generasi gres dalam perang. Pendanaan dari aktivitas new wars ini akan berkaitan dengan langkah-langkah kriminal dan kejahatan yang lain mirip perampokan, penjarahan, jual beli ilegal, black market, pencucian duit dan penyelundupan senjata. BAB III PEMBAHASAN 1.       Pemahaman Konflik Konflik etnis di Irak memiliki keunikan tersendiri, di mana konflik yang terjadi di Irak ialah kompleksitas antara aspek-aspek internal Irak dan juga intervensi dunia internasional. Secara internal. Aktor-bintang film yang terlibat dalam pertentangan-konflik di Irak ialah aktor-aktor yang mewakili masing-masing identitas kelompoknya, baik dari suku, politik, tempat maupun aliran agama. Sementara itu, imbas yang berasal dari dunia internasional datang dari Amerika Serikat dan sekutunya. Konflik etnis yang terjadi di Irak berakar pula dari kuatnya fragmentasi masyarakat baik secara kesukuan, ideology maupun aliran agama. Irak terpecah-pecah atas suku kurdi, arab, dan turkmen, adapula golongan Islam syiah dan Islam sunni, ada juga kelompok-golongan yang berlatar belakang ideologi sosialis, islam, pan arabisme dan pan islamisme. Kelompok-golongan tersebut saling berkonflik dengan tujuan mendapatkan pengesahan identitas kelompoknya, identitas politik maupun dalam motif ekonomi seperti mendapatkan pekerjaan dan sumber daya alam. Menurut Collier dan Hoeffler, suasana yang paling gampang memicu pertentangan yaitu ketika dua golongan suku utama bersaing untuk memperoleh kekuasaan. (Collier&Hoffler dalam Dewi Fortuna Anwar, 2005: 125) seperti halnya pertentangan etnis yang terjadi di Irak yakni suku-suku dan golongan-golongan penduduk saling berkonflik satu sama lain untuk memperjuangkan identitas politiknya yang kemudian akan berujung pada kekuasaan. Konflik etnis yang kian intens terjadi di Irak sampai kini dipengaruhi oleh dua faktor penting. Faktor pertama ialah ketidakbiasaan golongan Islam sunni utamanya penunjang setia Saddam Husein untuk menerima realita bahwa kini mereka tidak lagi memiliki kekuasaan mirip halnya era lalu. Hal ini semakin diperparah dengan tidak adanya rekonsiliasi nasional di mana tidak ada pengampunan bagi Saddam Husein dan juga para pengikut setianya. Hukuman mati bagi Saddam Husein sudah berimplikasi pada makin kerasnya aksi-agresi golongan Sunni terhadap golongan Syiah yang sekarang ini sedang berkuasa. Faktor kedua adalah adanya campur tangan pihak ajaib (Amerika Serikat) dalam kehidupan politik dan keamanan di Irak. Paska agresi militer Amerika Serikat yang dimulai sejak bulan Maret 2011, Presiden Saddam Husein dan Partai Ba’atnya tumbang pada bulan Mei 2011. Sejatuhnya Saddam Husein dan partainya muncul banyak sekali reaksi dari masyarakat Irak. Sebagian masyarakat Irak merasa senang sebab kini mereka terbebas dari pengawasan kediktatoran Saddam Husein. Namun, sebab sungguh bebasnya kehidupan di Irak paska tumbangnya Saddam Husein karena tidak ada lagi aturan yang mesti ditaati kehidupan mereka menjadi tidak terkontrol. Kehidupan masyarakat Irak menjadi tidak terkendali. Di banyak sekali wilayah Irak banyak terjadi kesemrawutan, perampokan, penjarahan dan pelecehan seksual. Ketika Saddam Husein tidak lagi berkuasa di Irak, kini banyak bermunculan kelompok-kalangan yang saling berkonflik baik saling berkonflik antar etnis masyarakat Irak maupun golongan yang berjuang untuk mengusir pasukan Amerika Serikat di bumi Irak. Karena kehadiran pasukan Amerika Serikat di Irak paska Saddam Husein tumbang pun tidak dapat memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat Irak, bahkan pasukan-pasukan Amerika Serikat melaksanakan tindakan tercela dan melakukan pemerkosaan terhadap para tawanannya dan penduduk Irak. Paska tumbangnya Saddam Husesin terjadi banyak bom bunuh diri, tidak ada kepastian hukum dan jaminan keamanan, angka pengangguran meningkat, terjadi penyelundupan dan kriminalitas merajalela. Masyarakat Irak belum dapat mengandalkan penghasilan minyaknya sebab banyak sumur-sumur yang mengalami kerusakan akibat pemborbardiran. Sehingga keadaan masyarakt Irak sekarang mengalami kesusahan. Di Irak kini tindak criminal makin meningkat, banyak terjadi aksi-aksi perlawanan kepada pasukan Amerika Serikat, dan banyak pula aksi-aksi yang dikerjakan oleh beberapa kelompok sperti kalangan Syiah pimpinan Muqtada al-Sadr, perlawanan di kota-kota di segitiga Sunni, seperti Mosul, Tikrit, Baghdad, Samara, Kirkuk, Basaji, Ramadi dan Baquba. Paska pembentukan pemerintahan baru setelah pemilu pun terjadi ledakan bom yang meluluhlantahkan dinding Masjid Asykariyah yang popular dengan nama Masjid emas di Samarra, masjid ini ialah salah satu kawasan suci kaum Syiah di Irak. Di masjid ini pula 12 imam yang sungguh dihormati kaum Syiah dimakamkan. Serangan-serangan ini menimbulkan terjadinya perang saudara dengan isu sectarian Sunni-Syiah. Paska pengeboman tersebut, 120 orang Sunni tewas selaku reaksi akibat. Berdasarkan laporan Asosiasi Ulama Sunni, sedikitnya ada 168 masjid Sunni sudah diserang, 10 imam dibunuh dan 15 orang lainnya diculik. Selain itu terjadi pula tindakan mengkremasi Al-Qur’an dan perobekan hiasan ayat-ayat suci Al-Qur’and di masjid-masjid Sunni. Menurut pengamat politik Irak, Sami Sorous, keadaan di Irak dikala ini sudah kehilangan mutual trust antara mayoritas Syiah di satu pihak dan otoritas Amerika, dewan pemerintahan Irak sementara, serta kekuatan politik Iran yang lain, seperti Sunni dan Kurdi di pihak lain . Memang bisa diketahui jika menyaksikan hasil pemilu Desember kemudian yang relatif memposisikan golongan Syiah lebih mujur secara politik. Sementara itu, partai Sunni (Front Perdamaian Nasional) cuma menjangkau 44 dingklik dan Front Dialog Nasional pimpinan politikus Sunni Saleh al-Motlak mendapat 11 kursi. Golongan Sunni yang secara tradisional mendominasi politik di kurun Saddam merasa terancam dengan konstelasi baru ini. Belum lagi, dengan tata cara federal, penguasaan kaum Sunni di daerah Irak tengah tidak menghasilkan minyak yang begitu berarti bila dibandingkan dengan di bab selatan dan utara Irak yang dikuasai kaum Syiah dan Kurdi. Sekarang golongan Syiah hampir mendominasi segala aspek bernegara baik administrator, legislative, maupun militer. Pada konflik horizontal di Irak, pemimpin Syiah yang paling dihormati Irak, Ayatullah Ali al-Sistani, memberikan aba-aba kepada pengikutnya untuk tidak melakukan serangan terhadp masjid-masjid Sunni, sehingga pertentangan yang terjadi antara Sunni-Syiah mampu sedikit diredam. Pasukan Amerika Serikat pun meninggalkan Irak pada tanggal 15 Desember 2011. Dilakukan penutupan misi militer pasukan Amerika Serikat di Irak oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Leon Panetta. Penarikan pasukan Amerika Serikat dari Irak ditandai dengan upacara penurunan bendera Amerika Serikat. (Tempo, 16 Desember 2011)     BAB IV PENUTUP 1.       Kesimpulan Dari pembahasan tersebut mampu kita simpulkan bahwa pertentangan etnis yang terjadi di Irak pada kala transisi demokrasi pada tahun 2003-2011 terjadi sebab paska tumbangnya Saddam Husein tidak ada lagi kendali dan peraturan hukum yang berlaku untuk mengontrol kehidupan sosial mereka, masyarakat Irak mendapatkan kebebasan yang berlebihan dan tidak terkontrol, dengan banyaknya suku-suku yang ada di Irak didorong dengan keinginan masing-masing golongan untuk mendapatkan identitas politiknya semoga diakui dan mendapatkan kekuasaan, maka masing-masing kelompok tersebut saling berkonflik dan melaksanakan penyerangan satu sama lain. Konflik etnis yang terjadi di Irak ini pada masa 2003-2011 termasuk ke dalam new wars, sebab sifat dari pertentangan etnis ini bermaksud untuk mendapatkan identitas politik, dikerjakan di wilayah local namun terintegrasi dengan dunia internasional, tidak adanya hierarki yang terang dapam pemerintahan dan pertentangan yang terjadi dan merupakan gelombang perang baru, pendanaan yang ditemukan untuk melakukan perang ini pun diperoleh dari langkah-langkah kejahatan dan kriminal seperti perampokan, penjarahan dan penyelundupan.     DAFTAR PUSTAKA Buku: Caselli, Francesco & Wilbur John Coleman. On the Theory of Ethnic Conflict. September 2011. Ismayilov, Gursel G. Ethnic Conflicts and Their Causes. Univ. Jyochi, Tokyo. Johnson. New and Old Wars: Organized Violence in a Global Era. Kaldor, Mary. Beyond Militarism, Arms Races, and Arms Control. _______. Old Wars, Cold Wars, New Wars, and the War on Terror. Februari 2005. _______. New Wars and Human Security. Jurnal: Sugito. Konflik Etnis Dalam Masa Transisi Demokrasi Di Irak. Univ. Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Oktober 2010. Machmudi, Yon. Kurdi: Bangsa Besar Yang Termarjinalkan. Univ. Indonesia. Website: Movement, Satwika. “Amerika Secara Resmi Akhiri Perang Irak.” Koran Tempo, 16 Desember 2011. http://www.tempo.co/read/news/2011/12/16/115372102/Amerika-Secara-Resmi-Akhiri-Perang-Irak . Di jalan masuk pada 8 Mei 2012, pukul 21.00 WIB. [1] “Irak Invasion Research Paper Feedback.” April 2010. http://www.essayforum.com/research-papers-11/Irak-invasion-research-paper-feedback-16503/ . Di susukan pada, 7 Mei 2012 pukul 23.00 WIB. [2] Alhadar, Smith. “Tidak Dapatkah Isu Irak Diselesaikan Secara Damai?”. http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=1223&coid=1&caid=45&gid=3 . [3] Kaldor, Mary. 1999.   New and Old Wars: Organized Violence in a Global Era . Polity Press, Oxford. Happy reading and enjoy it :)
Sumber https://siti-wulandari.blogspot.com

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar