Tengah malam itu, kita bersama beberapa sahabat yang lain sedang asyik menikmati sajian masing-masing. Seingatku saya sedang memakan sepiring Mie Rebus Aceh Cumi, sedang kamu mengkonsumsi nasi goreng. Yang lain? Bermacam-macam pesanannya, Roti Cane, Mie Goreng Aceh, dan banyak sekali hidangan khas Aceh lainnya. Aku ingat, ketika itu kita belum terlalu erat. Dekat? Hmmm, relasi bersahabat macam apa ya, yang kita jalani kini ini? Aku tidak tahu, tidak bisa didefinisikan. Terlalu kurang jelas. Saat itu, kamu ialah orang yang paling nyaman dan paling bisa aku percaya untuk menumpahkan segala jenis beban yang ku sendiri entah sanggup entah tidak untuk memikulnya. Aku ingat, waktu itu kita duduk bersampingan, sehingga kita bisa berbicara, sedikit berbisik, mencuri waktu untuk saya mengeluarkan keruwetan yang ada dalam anggapan ku, yang cuma bisa (yang cuma ku yakin) untuk berbagi denganmu, masih belum bisa ku bagi dengan yang lainnya, padahal, nyatanya, di situ, kau ialah orang yang paling baru ku kenal. Saat itu, kau tahu benar, saya sedang dalam gelisah, banyak beban dan penat yang menumpuk, terlalu banyak emosi yang ku simpan, tapi tidak bisa aku keluarkan. Di sela-sela makan kita, saya bilang sama kau, "aku merasa punya alter ego." "Alter ego?! Memangnya kamu merasa seperti apa?" tanyanya. "Aku merasa dalam perangaiku yang kini, saya merasa terbatasi, dibatasi, dikungkung, jauh di dalam dasar hatiku, aku ingin bebas, mencicipi keleluasaan." "Kamu tahu? Hal-hal abnormal apa yang ingin saya lakukan?", "Apa?" tanyamu. "Aku suka, half naked di dalam kamar, aku merasa seksi, bebas, lepas tanpa batas-batas apa pun. Aku ingin menggambar tato kupu-kupu berwarna biru di pinggulku, alasannya aku rasa itu seksi, dan suatu bentuk transformasi, suatu yang jelek rupa menjadi suatu keindahan. Aku suka menari! Dengan tari aku bisa melepas emosi dan semua rasa yang terpendam dalam jiwa." Semua itu tak pernah kuceritakan (paling tidak secara rincian) pada orang lain. Bodohnya, kenapa saya ceritakan itu semua ke kamu? Seorang laki-laki yang gres ku kenal beberapa bulan ini?! "No, No, No, No, No, itu bukan alter ego! Itu hanya istilah emosi dan ekspresi di dalam diri kau saja", katanya. "Karena alter ego, jauh lebih, menyeramkan", katamu dengan nada hati-hati. "Alter ego, seperti kita mempunyai eksklusif yang lain, yang bisa kita ajak bicara, ketika kita memerlukan sosok diri kita yang lain, sosok yang ingin kita ajak bicara, diskusi, membuatkan persepsi, menetapkan sesuatu. Kamu tidak punya alter ego, ekspresikan lah emosi dan perasaanmu, bila memang itu perlu," "Menarilah!" Kata-kata yang menjadi epilog perbicangan ku dengannya malam itu. *** (bersambung) Sumber https://siti-wulandari.blogspot.com