--> Skip to main content
Pelajar Koding

follow us

Penting! Baca Ini Sebelum Kamu Menerbitkan Komikmu!

Hai wan, bagaimana kabar kalian? agar baik ya. Semangat! Setelah sebelumnya kita membahas beberapa panduan dan kiat dasar tentang dasar-dasar dalam pengerjaan komik, sekarang aku akan coba memaparkan salah satu opini dari Komikus Grey&Jingga, yaitu wacana lebih baik mana antara kita mempublikasikan komik kita sendiri atau secara indie atau lewat penerbit besar contohnya mirip majalah komik re:on atau kosmik. mari kita simak pemaparan dia yuk. Terbitkan Komik Sendiri Atau Lewat Penerbit? Ketika kecil, aku bercita-cita menerbitkan komik aku sendiri ke penerbit komik. Saat itu saya berharap komik saya bisa dibaca banyak orang dan aku senang alasannya adalah bisa mengasyikkan banyak orang. Namun, jalan untuk menuju terwujudnya impian ini tidaklah semudah memimpikannya. Sebagai komikus pemula, aku harus berhadapan dengan proses editorial, lamanya waktu pembuatan, revisi, proses menunggu jadwal cetak dan terbit, sampai menerima royalti yang layak dengan jumlah eksemplar yang tidak banyak. Apakah mimpi itu disebut kandas? Tentu tidak. Setelah mencoba menekuni industri penerbitan komik, hingga berkarier di ramainya konten komik digital akil balig cukup akal ini, saya ingin sekedar mengembangkan pedoman melalui suatu catatan berjudul "mempublikasikan komik sendiri" ini. Saya berkawan dengan banyak tipe komikus di Indonesia: yang profesional bekerja sebagai komikus dari penerbit luar, komikus profesional dari penerbit lokal, komikus yang mempublikasikan karyanya sendiri secara profesional, komikus indie yang menjual komiknya secara indie, komikus yang sekedar hobi ngomik, juga komikus yang sedang mau mulai mencar ilmu wacana komik. Ada beberapa komikus yang mengeluh saat komiknya berulangkali ditolak penerbit. Alasannya pun beragam; ada yang dianggap terlalu gila, terlalu sadis, terlalu porno, terlalu SARA, dan terlalu terlalu lainnya. Sebagian komikus ada yang mengalami penolakan itu menyerah dan mengeluhkan penerbit yang menolaknya. Padahal, boleh jadi karyanya ditolak editor memang sebab belum memenuhi tolok ukur penerbitan dan bisa membahayakan kedua pihak bila diterbitkan. Dan satu catatan lagi, setiap penerbit komik mempunyai batasan editorial yang berbeda-beda. Komikus yang karyanya sukses lolos ke sebuah penerbitan biasanya akan menghadapi proses editorial, dimana sebuah karya komik akan menerima pemangkasan dan pembiasaan sesuai kebutuhan dan pengalaman penerbit. Dalam proses ini, komikus yang sangat-sungguh idealis dengan karyanya akan kecewa dengan adanya beberapa penyesuaian itu. Tapi sekali lagi, pemangkasan dan penyesuaian konten komik itu timbul atas pengalaman editor dalam menerbitkan komik. Bagaimanapun, penerbit akan berhati-hati mengeluarkan barang dagangannya. Ada sebagian yang sepakat dengan hasil editorial, namun banyak juga yang menyerah dan menentukan jalur indie. Di jalur indie ini, komikus tidak akan dibebani oleh metode editorial dan keperluan marketing industry sebuah penerbit. Komikus Indie bebas memilih konten, format komik, gaya bahasa, gaya gambar, dan sebagainya. Apakah komik indie bisa dijual tanpa penerbit? Tentu saja mampu. Menjual komik itu caranya beragam. Apakah komik indie akan selalu ditolak penerbit? Tentu saja tidak. Ada beberapa penerbit yang bersedia menerbitkan komik indie loh. Syarat dan ketentuan berlaku, hehe... Keuntungan menerbitkan komik di penerbit komik besar ada banyak. Diantaranya, komikus tidak perlu repot-repot mengurusi proses pencetakan, distribusi, dan (sebagian) penawaran spesial, juga soal hitung-hitungan hasil transaksi. Dalam hal ini, keuntungan financial menerbitkan komik via penerbit ditentukan dalam Royalti. Sejauh yang aku ketahui, rata-rata penerbit memperlihatkan royalti sebesar 10% per 3000 eksemplar. Besar rupiah yang diterima tergantung dari laku atau tidaknya komik tersebut di pasaran, juga berdasar harga komiknya juga. Banyak yang bilang juga jika angka tersebut tidak mampu digunakan untuk sandaran hidup. Tapi banyak komikus yang mengejar-ngejar hal lain ketika komiknya diterbitkan, yaitu kebanggan dan prestasi. Pagar untuk menerbitkan komik di penerbit yang menganut patokan penerbitan Jepang memang tidak gampang. Ada beberapa aturan teknis yang mesti dipatuhi. Dan aturan-hukum tersebut seringkali tidak mampu ditempuh dalam waktu cepat dan mudah. Misalnya; komikus mesti membuat satu dongeng ke dalam kisaran 180 halaman untuk satu buku. Kalau bisa membuatnya dalam waktu singkat, pasti royalti yang diterima mampu mengeluarkan uang biaya selama komik dibentuk. Namun, jarang yang berlaku sejalan. Hitungan kasarnya, 180 halaman paling cepat bisa dicapai dalam waktu 6 bulan (dengan perkiraan 1 halaman dalam 1 hari), dan itupun mesti dengan pertolongan ajun (toning, background, lettering). Jika mengandalkan penghasilan dari royalti saja, maka hitungan ongkosnya tidak cukup masuk, kecuali komiknya sungguh-sungguh laku dan bisa naik cetak berkali-kali dalam sebulan. Pupuskah keinginan sehabis mengenali fakta ini? Indonesia itu abnormal. Dalam suatu kesusahan system, komikusnya mendapatkan cara-cara jenius untuk bertahan. God bless social media! Saya mau berbagi pengalaman perihal komik saya yang berjudul Grey & Jingga: The Twilight. Komik ini aku mulai di facebook sekitar Oktober 2012 dengan format komik strip dan bergenre romance. Kala itu, saya menantang diri saya untuk bisa rutin mengunggah komik ini setiap Senin dan Kamis. Proses penayangan komik ini nyaris tidak menemui kendala. Selama hampir satu setengah tahun, saya berkala menayangkan komik serial Grey & Jingga di facebook tanpa pernah terlewat satu jadwalpun. Ketika memulai, follower saya di Facebook ada sekitar 4.000 orang. Ketika komik Grey & Jingga final di bulan Februari 2014, follower saya melonjak menjadi 14.000 orang. Artinya, saya berhasil mengumpulkan pembaca komik aku sebanyak 10.000 orang. Penayangan berkala dan kualitas konten tentu menjadi biang kesuksesannya. Komik Grey & Jingga lalu diterbitkan oleh Koloni Gramedia dan mencetak rekor sebagai komik dengan penjualan tercepat. (Kalau terlaris seingat saya dipegang oleh Garudayana). Grey dan Jingga Komik Karya Sweta Kartika Dalam hal ini, social media merupakan salah satu jalur alternatif bagi para komikus untuk menayangkan komiknya. Keuntungan dengan menayangkan via sosmed (ungkapan kerennya) yaitu gratis alias tanpa biaya, dan kita selaku komikus bisa pribadi menerima tanggapandari pembaca terhadap karya kita. Penerbit melihat keberadaan sosmed ini sebagai ajang untuk mencari konten. Jaman dahulu, sebelum adanya sosmed, penerbit akan menanti submisi komik dari komikus. Dan kalaupun telah ada janji untuk menerbitkan satu judul, mereka mesti berspekulasi kepada kemungkinan terburuk bahwa komik tersebut akan lesu di pasaran. Kemunculan sosmed dan internet ialah portal bagi para talent scout dan penerbit untuk melacak satu komikus maupun konten komik hingga mengorbitkannya ke pasaran. Salah satu pola mereka yakni jumlah follower komikusnya. Ingat, ini hanya salah satu acuan. Penerbit juga mesti hati-hati menyaksikan performa dan konten komiknya. Bisa jadi follower banyak, namun karyanya tidak memenuhi tolok ukur penerbitan. Tetap saja komik itu lewat dari mata penerbit. Misalnya, konten komiknya banyaomong, SARA, Super Hentai, dan sebagainya. Apakah selamanya jikalau komikus punya follower selangit lantas karya komiknya diburu penerbit? Belum tentu. Lihat dulu kualitasnya. Tidak ada jaminan follower banyak, lantas komiknya laris di pasar. Juga tidak ada jaminan follower si komikus mampu diitung jari, tetapi komiknya nggak laris di pasar. Ingat, sebelum ada sosmed, tidak ada standardisasi berdasarkan follower. Tidak ada jaminan itu. Pasar kita cukup anomali untuk dirumuskan. Apakah lantas komikus dengan jumlah pengikut yang banyak bersedia diterbitkan komiknya? Belum tentu. Banyak komikus yang merasa mampu menjual barang dagangannya sendiri tanpa bantuan penerbit. Memang balasannya swag abis sih, tetapi itulah yang namanya buka usaha hehe.... Saya akan menyinari salah satu komik karya sobat aku, Faza Meonk: Si Juki. Bagi saya, Si Juki ialah sebuah fictional character yang di-manage dengan sangat bagus lewat social media. Faza menyusupkan kredo Si Juki ke berbagai jaringan sosmed untuk mewartakan kontennya, dan berhasil menyasar market dengan sungguh-sungguh jenius. Alhasil, Si Juki bisa diketahui luas sehingga menenteng kencrengan rupiah ke kantong Faza. Pertanyaannya, jikalau saja konten Si Juki tidak mempesona dan tidak diminati market, akankah mampu seterkenal ini (meskipun sudah digembar-gemborkan ke berbagai media social)? Jawabannya: Belum tentu. Kualitas konten dan jaringan penyebaran via social media ialah satu konfigurasi yang tidak terpisahkan. Dengan mengusut jumlah follower dan konten yang diusung, Si Juki balasannya diterbitkan oleh Bukune Publisher dan laku elok di pasar. Komik Si Juki Catatan pentingnya yaitu, jumlah follower seorang komikus hanya digunakan selaku teladan dasar bagi penerbit untuk mematikulasi serapan produk komik di pasaran. Contohnya begini; jikalau follower FB aku ketika ini meraih 23.000 orang, penerbit akan beranggapan bisa memasarkan setidaknya 3.000 eksemplar komik saya dipasaran. Apakah semakin besar jumlah follower, semakin kecil pula error dari matikulasi tersebut? Belum pasti. Boleh jadi, follower saya jadi banyak gara-gara saya suka membuatstatus tentang kegalauan asmara yang tidak ada hubungannya dengan komik yang sedang aku buat. Makanya, tingkat kelarisan komik Grey & Jingga berbeda dengan tingkat kelarisan komik Pusaka Dewa di web Ragasukma. Si Juki adalah pola yang paling sempurna dalam mengkonfigurasikan konten dan jumlah follower. Dan formulasi administrasi social media Si Juki tidak mampu asal tempel dicontek oleh saya untuk memasarkan komik Pusaka Dewa. Alasannya jelas: pasarnya berlainan. Maka, salah kaprah bila beranggapan bahwa penerbit cuma mau menerbitkan komik dari komikus yang followernya banyak. Kontennya mesti dilihat dulu. Penerbit yang mana dulu? Penerbit itu ada banyak, dan masing-masing punya cara sendiri untuk menentukan komik yang hendak diluncurkan. Bagi aku langsung, jika ditinjau dari sisi marketing, tidak ada komik manis atau jelek. Yang ada yakni komik berkualitas yang tepat target atau tidak. Bagus kontennya tetapi tidak manis menyasarkannya, bagi saya sama saja gagal. Saya berpendapat bahwa komik yang sukses yakni komik yang isinya sampai dengan baik kepada pembaca. Jangan sampai kita terlalu percaya diri memasarkan komik tentang Tuntunan Sholat terhadap para preman gemar judi. Salah-salah komik kita dibakar gara-gara terlalu menggurui. Atau terlalu percaya diri membuat komik untuk anak-anak tanpa memperhitungkan bahwa nanti ibunya yang hendak membelikan untuk anaknya. Apalagi terlalu yakin diri melabeli komik sendiri sebagai komik bermutu tetapi kenyataan bicara sebaliknya. Formula ini mesti dipahami baik-baik. Indonesia dipenuhi oleh komikus-komikus kreatif yang tahan banting. Saya bersyukur banyak nama-nama baru yang muncul dan meroket dengan segera atas dasar kualitas komiknya yang rupawan. Mohon untuk tidak menerjemahkan kata “mutu” dengan “gambar yang keren kayak gambarnya Takehiko Inoue”. Bukan. Berkualitas artinya ada sinkronisasi mutu antara konten dan penyajiannya. Nama-nama seperti  Re:ON, Wook Wook, Si Juki, Kosmik, dan yang tidak bisa aku sebutkan satu per satu merupakan produk yang lahir dari sebuah evolusi marketing dalam industri komik lokal. Yang lebih gokil lagi, banyak komikus-komikus muda yang sukses menata bisnis komiknya sendiri secara independen, tanpa perlu terlalu bergantung pada penerbit, tapi bisa makin berhasil komiknya. Ini yakni salah satu buah kesuksesan. Di lain waktu, aku akan menuliskan khusus soal manajemen bisnis untuk komik terbitan sendiri yang bahannya aku ambil dari aneka macam sumber. Akhir kata, sosmed ialah salah satu jalan untuk mempopulerkan komik dan komikusnya. Selanjutnya, alam semesta yang hendak memilih apakah komik itu bisa laku atau tidak. Dengan adanya jaringan social media ini, sungguh mujur bagi mereka yang mampu mengoptimalkannya di jalan kebaikan berkarya. Sibuk-sibuklah memperbaiki kualitas komik kita. XGRA AXY!! Terima Kasih, dicopy dari Beranda Facebook Sweta Kartika Pengajar di Padepokan Ragasukma. Nah Bagaimana sahabat-sobat, apakah kalian ingin menerbitkan komik kalian lewat jalur indie atau penerbit? well semua itu berada dalam keputusan kalian, yang pasti agar komik kalian populer dan laku mirip para senior kita ya, amiin.
Sumber https://blogblahbloh.blogspot.com

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar