--> Skip to main content
Pelajar Koding

follow us

Review Jurnal : East Asian Regionalism And Global Governance

“East Asian Regionalism and Global Governance, Japan Center for International Exchange,” 2008 -Jusuf Wanandi- Reviewer:  Siti Wulandari, FISIP-Hubungan Internasional Univ. Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Dalam jurnalnya Jusuf Wanandi menguraikan bahwa daerah Asia Timur ialah daerah yang kemajuan ekonominya pesat tetapi mengalami kedilemaan kepada informasi politik dan keamanan. Sejak perang dunia II, kehadiran Amerika Serikat ialah actor yang mempertahankan perdamaian dan stabilitas di daerah Asia Timur. Namun, akhir-final ini, ketika Pemerintah Amerika Serikat mulai focus pada gosip di kawasan Timur Tengah dan info-info terorisme, peran Amerika Serikat di kawasan Asia Timur makin memudar. Manakala tugas Amerika Serikat memudar, daerah Asia Timur mendapatkan seni manajemen dan potensi barunya untuk menghadapi krisis yang ada, apalagi saat power China kian meningkat dan terus bergerak menuju great power. Namun, kehadiran power gres China tersebut pun tidak lantas tidak menunjukkan duduk perkara. Kita mesti mengamati kestabilan antar negara major power (Amerika Serikat) yang terlibat di daerah tersebut. Dalam jurnal ini Jusuf Wanandi akan menjelaskan masalah dan fenomena-fenomena yang muncul di kawasan tersebut. Ia mengelompokkan pembahasan dalam jurnal ini menjadi empat focus utama. Keempat focus tersebut adalah berita major power (Amerika Serikat dan kekuatan China yang mulai bergerak naik) di kawasan Asia Timur, balance of power di daerah Asia Timur, pembentukan institusi regional di daerah Asia Timur, dan donasi Asia Timur kepada pemerintahan global. Major Power di tempat Asia Timur Paska era pemulihan krisis ekonomi tahun 1997 di tempat Asia, Asia Timur menjadi daerah ekonomi yang terpenting di dunia. Dan seiring berjalannya waktu dampak soft power Amerika Serikat lewat aliansinya bareng Jepang kian menurun di kawasan tersebut sebab perhatiannya sudah beralih ke tempat Timur Tengah dan informasi-informasi terorisme. Sedangkan, pada saat itu program senjata nuklir Korea Utara kian meningkat terlebih lagi makin meningkatnya budget militer China menimbulkan Jepang dalam dilemma keamanan. Oleh karena itu, Jepang berusaha mengembangkan pertahanannya dengan semakin memperkuat aliansinya dengan Amerika Serikat dan juga Jepang mulai berusaha untuk membangun kebijakannya sendiri. Jepang berusaha membangun East Asia Community sebagai komunitas dan koordinasi regional di tempat Asia Timur untuk mengimbangi power negara China. Jepang pun mulai mengimbangi power militer China dengan melaksanakan kerjasama keselamatan dengan Australia pada bulan March 2007. Seiring dengan berjalannya koordinasi keselamatan tersebut, Jepang pun menanyakan transparansi kenaikan budget militer China. Hubungan India dengan Asia Timur dimulai semenjak beberapa tahun terakhir ini berdasarkan “Look East” policy India. Hubungan ini dimulai karena daya tarik pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan harapan India untuk keluar dari kendala-hambatan yang ada di kawasan Asia Selatan. India pun telah terlibat dalam East Asia Summit, di mana hal ini menunjukkan ekspektasi relasi dan partisipasi India di daerah Asia Timur. Hingga semakin kompleks major power yang terlibat di tempat Asia Timur yakni Amerika Serikat, Jepang, Australia, India dan tentu juga China. India dan China ialah economic emerging countries yang mulai memiliki bargaining position di kancah dunia internasional. Pergeseran Balance of Power Kawasan Asia Timur terus berkembang dan berkembang dengan Jepang, China dan India sebagai motor pencetus pertumbuhannya. Kawasan ini akan menjadi tempat terpenting di dunia dan kawasan di mana balance of power akan bergeser ke arahnya. Pergeseran itu akan mulai terjadi di periode 21 dengan pergantian power ekonomi terlebih dahulu yang hendak disertai pula dengan pergesaran politik dan mampu juga pergantian keamanan. Hubungan antara rising superpower country dengan negara yang telah menjadi super power bukanlah suatu hal yang mudah. Sekarang ini, perekonomian dunia sudah makin terintegrasi dan saling bergantung. Namun, dengan tujuan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas yang terus berlangsung baik kemajuan dan dinamika ekonomi serta hubungan politik pun mesti di tangani dengan benar. Institusi regional di tempat Asia Timur juga berkontribusi atas keseimbangan tatanan regional dan dunia global. Supaya balance of power bergeser ke daerah Asia Timur secara tenang maka ada dua hal mendasar yang harus terjadi. Pertama, pergeseran mesti terjadi secara berangsur-angsur dan jangan bersifat zero-sum game . Baik US dan EU akan terus memainkan perannya di pemerintahan dunia sebab Asia Timur tidak akan mampu menjaga tatanan dan institusi dunia seorang diri. Yang kedua, para new emerging powers di tempat Asia Timur harus mempersiapkan dan memperkuat diri sebaik mungkin. Negara-negara new emerging powers juga turut mempunyai tanggung jawab kepada tatanan dunia global. Para new emerging powers ini harus menyesuaikan metode nilai mereka dengan tata cara nilai global mirip hukum hukum, pemerintahan, demokrasi, HAM dan keadilan social. Pembentukan Komunitas Regional Langkah awal yang mesti dilaksanakan dalam upaya membentuk komunitas global ialah dengan menjalin koordinasi ekonomi antar negara-negara di suatu regional. Hal ini dikarenakan oleh tekanan pasar yang terjadi antar negara-negara yang melaksanakan koordinasi ekonomi telah menciptakan mereka berintegrasi secara ekonomi. Langkah berikutnya yang mesti dilaksanakan dalam proses integrasi ialah keterlibatan pemerintah secara pro aktif, alasannya tak mampu dibantah bahwa politik memiliki peran penting dalam kerjasama ekonomi dan mempermudah proses koordinasi yang terjadi. Selain bidang ekonomi dan politik, bidang keselamatan pun menjadi sorotan dalam proses integrasi regional. ASEAN Regional Forum di tempat Asia Tenggara dan Asia Timur dapat menjadi alat untuk mengimplementasikan inisiatif kerjasama human security atau persoalan-duduk perkara kemanan non tradisional termasuk juga problem penyakit yang menular dan terorisme global. Selain itu, jikalau Six Party Talks di tempat Asia Timur berhasil menuntaskan krisis nuklir di semenanjung Korea dapat digunakan selaku mekanisme koordinasi keamanan tradisional (hard security matter) di kawasan tersebut. Dalam jurnal ini Yusuf Wanandi menyimpulkan bahwa koordinasi gosip-informasi non-traditional security yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan atau human security seperti duduk perkara lingkungan, migrasi, perdagangan insan, pembersihan duit, penyakit menular dan terorisme global di daerah Asia Timur dapat dijalankan dan diimplementasikan dengan baik jika koordinasi politik turut menopang kerjasama tersebut. Tetapi, bila gosip kedaulatan dan intervensi duduk perkara domestic dilibatkan dalam koordinasi-kerjasama tersebut maka usaha dan kerja keras diperlukan dalam membangun koordinasi tersebut. Menurutnya, kerjasama ekonomi yang sudah dibangun dan disepakati antar neagra-negara di tempat Asia Timur lewat ASEAN Charter mampu meningkat lebih luas dan mendalam di bidang kerjasama politik dan keamanan. Namun, upaya kenaikan kerjasama tersebut mesti disokong dan melibatkan warga negaranya. Seperti yang telah dijalankan oleh ASEAN di mana kerjasamanya juga sudah melibatkan warga negara dari negara masing-masing untuk turut berperan serta sehingga proses koordinasi dan integrasinya pun berlangsung. Peran warga negara di sini selaku para usahawan menjalin kerjasama ekonomi dan mempromosikan kerjasama ekonomi regional sedangkan pemerintah memiliki tugas dan fungsi untuk menunjukkan wadah (institusi) dan peraturan atas koordinasi yang dilaksanakan tersebut. Jika kita meninjau anutan dari Robert Gilpin (2004), di mana pemikiran ekonomi liberal yang berkomitmen kepada pasar terbuka dan prosedur pasar, maka menurutnya pasar terbuka harus dikelola secara rasional dan aturan yang ketat yang netral secara politik, sehingga ekonomi terpisah dari politik. Hal ini tentu berseberangan dengan apa yang dikemukan oleh Jusuf Wanandi di mana kerjasama ekonomi dalam prosedur pasar pun harus dilatarbelakangi oleh sumbangan politik supaya lebih stabil. Adapula complex interdependence theory yang dikembangkan oleh Robert Keohane untuk menganalisa tulisan Jusuf Wanandi. Dalam complex interdependence theory, Robert Keohane mengemukakan bahwa: Complex interdependence is various, complex transnational connections (interdependencies) between states and societies. Interdependence theorists noted that such relations, particularly economic ones, were increasing; while the use of military force and power balancing were decreasing (but remained important). Reflecting on these developments, they argued that the decline of military force as a policy tool and the increase in economic and other forms of interdependence should increase the probability of cooperation among states. The complex interdependence framework can be seen as an attempt to synthesize elements of realist and liberal thought. [1] Dari complex interdependence theory tersebut, mampu disimpulkan bahwa kerjasama (terutama ekonomi) yang terjadi mampu meningkatkan ketergantungan antara negara-negara dan penduduk -masyarakat negara yang terlibat dalam koordinasi yang dibangun. Rasa saling ketergantungan ini pun memungkinkan untuk peningkatan kerjasama yang lebih luas dan mendalam antar negara-negara dan masyarakat-penduduk negara-negara. Hal tersebut selaras dengan apa yang ditulisakan oleh Jusuf Wanandi, di mana kerjasama ekonomi yang dijalankan untuk menuju ke tahap regionalism dan integrasi harus juga melibatkan bagian penduduk di dalamnya. Sehingga tercipta interconnectedness dan interdependency antar negara-negara dan penduduk -masyarakat negara tersebut. Dalam classic regionalism theory, classic regionalism didefiniskan selaku : "A theory of co-operative hegemony"   and a "planned merger of national economies through cooperation" with the State as the primary reference point.” [2] Dalam teori tersebut pun diakui bahwa meningkatnya kerjasama ekonomi akan menjadikan peningkatan pula terhadap koordinasi politik antar negara-negara yang bersangkutan. Dengan demikian, negara-negara yang memiliki tingkat ketergantunga yang tinggi kepada kepentingan ekonomi dan komersial mempunyai impian yang lebih rendah kepada perang. Teori ini pasti sejalan dengan apa yang diuraikan Jusuf Wanandi perihal keterkaitan kerjasama ekonomi dan politik antar negara-negara yang bersangkutan. Dari beberapa acuan pembanding tersebut, reviewer condong sepaham dengan pedoman Jusuf Wanandi bahwa dalam upaya integrasi melalui koordinasi ekonomi tetap dibutuhkan dorongan politik dan juga kerjasama politik antar negara-negara yang terlibat. Hal tersebut juga sesuai dengan complex interdependence theory yang sudah dipaparkan sebelumnya di mana koordinasi ekonomi yang terjalin menimbulkan saling ketergantungan antar negara-negara tersebut. Selain itu, koordinasi ekonomi tersebut pun menimbulkan makin kompleksnya kekerabatan yang terjadi, dari koordinasi ekonomi mampu merambah ke persoalan politik dan keselamatan, baik keamanan tradisional maupun non-tradisional. [1] Keohane, R and J. Nye. 1977. Power and Interdependence: World Politics in Transition. Little-Brown Boston. 2 nd ed, 1989. [2]
Sumber https://siti-wulandari.blogspot.com

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar